Sunday, June 22, 2008

Pena Dansa

by A. Tiara Widjanarko

One….two…three…four…..tap…
tap..tap, langkah-langkah kaki mengayun seiring irama Samba. One….two…three…four….cha…cha..cha! Seperti itulah topik bermain di neuron otakku, dengan ketukan yang sama, tempo yang serupa. Diikuti gerakan pensil yang ditoreh pada selembar kertas kosong.

“Jadi bagaimana cara kita untuk menghindari kecenderungan memakai data data dan data dalam tulisan kita?” Lia, salah seorang peserta kursus Jurnalisme Sastrawi melontarkan pertanyaan tersebut.

“Ya, tergantung kepada siapa kamu menulis, apakah itu audience umum, atau hanya untuk jurnal. Kata-kata jangan ada yang berulang dalam satu kalimat, kalau bisa dalam satu paragraf,” tutur Goenawan Mohammad.

Semua peserta menyimpan begitu banyak pertanyaan di benak mereka. Tapi hanya sedikit yang berani angkat bicara. Tentu sulit menulis tanpa mengulang kata yang sama. Jangankan demikian, terkadang kata “dan” saja seperti jamur tumbuh di permukaan batang pohon Enoki. Banyak tanpa disadari!

“Jangan terlalu banyak menyajikan data dalam satu paragraf. Lebih baik dibagi-bagi. Jangan juga terlalu detail tanpa data hingga melayang-layang.”, jelasnya lebih lanjut.

“Menulis itu butuh latihan. Setiap hari saya latihan menulis. Sekali menulis saya bisa sampai empat jam. Yang paling lama bagian ngeditnya,” ujarnya sembari tersenyum.

Bayangkan, untuk orang yang sudah dianggap dewa oleh sebagian penulis di Indonesia saja, GM; begitu dia sering disapa, masih mengalami kesulitan menulis pendek. Menulis harus fleksibel, menggunakan catatan kaki kalau memang perlu, begitu imbuhnya.

Well, that means I have to start writing. Menulis jadi mirip berdansa buatku. Untuk mahir kita butuh latihan. Menggunakan perasaan, fleksibel dan luwes. Tak ada salahnya bukan kita menggunakan ketukan-ketukan yang sama?

“When my rimbo rhytms start to play, dance with me, make me sway. Like a lazy ocean hugs the shore, hold me close, sway me more.”, penggalan lagu yang satu ini cocok dengan moodku sekarang.

Sungguh, berdansa kini aku dengan penaku. Rasanya? U should try it yourself!

First recipe as homework

Seratus, seratus lima puluh, dua ratus…yaaaa stop! Jangan sampai lewat dari pakem yang sudah ditentukan. Cukup 200 gram tepung terigu, setengah sendok makan ragi instan, setengah sendok teh garam, 50 gram gula pasir.

Satu per satu bahan dimasukkan ke dalam mangkuk besar. Perlahan adonan diaduk seputar arah jarum jam, tentunya pakai spatula, spa-tu-la, bukan spa-tu. Boleh kayu, boleh plastik, atau bahan apapun yang terjaga kehigienisannya.

Jadikan spatula, adonan, mangkuk besar sebagai kawan lama tangan yang sedang mengaduknya. Begitu erat, akrab, dan hangat. Namun jangan pernah lengah, karena beberapa detik tengah mengintai, pelan-pelan mencuri kesempatan. Saat tangan pegal mengaduk, adonan bisa jadi tak sempurna.

Lolos dari babak pertama, selanjutnya susu yang dapat giliran untuk bergabung. Hanya 250 ml susu cair yang dapat ambil bagian. Biarkan saja mereka saling mengakrabkan diri selama 30 menit tanpa perlu diganggu gugat.

Dan coba lihat, siapa yang akhirnya memutuskan untuk bergabung. Lima puluh gram mentega leleh dan dua butir telur menempati gerbong terakhir dalam adonan. Mereka masih terus menerus diaduk hingga solid.

Wajan berupa cetakan bulat berukuran sedang mulai dipanaskan di atas api. Tangan yang terampil lalu mengoleskan mentega tipis-tipis dengan bantuan kuas. Satu per satu, lubang yang di kanan lalu yang kiri. Hingga rata semuanya dan mulai terdengar suara gemericik mentega yang panas.

Harum. Legit. Mengundang. Adonan pun dituangkan hingga tiga per empat lubang. Kata orang, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Demikian pula perkara yang satu ini. Biarkan hingga sekeliling adonan mengering. Lalu hop! Cungkil dan balikkan dengan ujung garpu atau tusuk sate. Tapi tolong, lagi-lagi bersihkan dahulu. Jangan sampai masakan yang satu ini hasil akhirnya berasa sate.

Tunggu hingga kuning kecoklatan dan angkat. Sajikan di piring dan hidangkan dengan taburan gula halus. Bisa juga dengan sirup maple yang luwes, kayu manis yang suka memberi kejutan, atau topping apapun semau Anda. Tapi kalau saos duren dan nangka yang jadi pilihan, sebaiknya Anda mulai mempertimbangkan memasak kue serabi dibanding poffertjes, yang katanya pencuci mulut terbaik ala Londo!

Simply 25

Atas bertambahnya usia, dan berkurangnya masa hidup; mengutip salah satu isi sms yang masuk ke inbox hari ini, sungguh menyenangkan bisa memilih segala sesuatu tanpa keterbatasan.

My simply 25, proyek setahun ini atau kalau boleh dirumuskan beberapa bulan saja nampaknya cukup sukses. Tanpa perayaan yang berarti, hanya berbasiskan reminder di fs dan fb, lebih dari 100 ucapan selamat dan doa yang mendarat.

Berarti misi berjalan lancar dan saya cukup "berhasil" sebagai seorang manusia. Genapnya usia seperempat abad, rupanya kehadiran saya cukup memberi arti. Semoga akan terus demikian adanya.

Karna pada setiap hari yang baru,
kita berkesempatan menjadi yang lebih baik.
Dan satu-satunya batasan adalah pikiran kita.

Betul atau Salah

Betul atau salah,
demikian betul belum tentu benar,
tapi benar sudah tentu betul.

Bukan suatu kebetulan,
aku menemukan kebenaran dalam dirimu.

Seperti orang asing yang masuk ke dalam taksi,
dan diberi pertanyaan, "Mau pergi kemana?"

Kemanapun dia akan dibawa,
satu-satunya hal yang menentukan,
adalah dia tahu kemana tujuannya.

Jadi pada suatu petang aku bertanya pada aku,
hendak kemana aku ingin berada,
bukan pergi lagi pertanyaannya.

Lalu aku menemukan kebenarannya pada dirimu.
Bersinar begitu saja dari kedua matamu,
dari dalam utuhmu.

Mungkin kau benar,
semua sudah ada dalam diriku.
Yang perlu kulakukan adalah tahu apa yang aku inginkan.

Thank you,
I've found my God in you, through you.
He really-really made us ONE.

Monday, January 07, 2008

Jatuhnya Bulan Rambutan

Aku suka jatuhnya bulan rambutan, begitu kunamakan bulan yang paling buntut. Bukan karna besar dan warnanya, bukan juga karna mereka-mereka itu jatuh karna sukarela. Aku menyukai manisnya udara di sekitar pohon-pohon yang rimbun itu. Jauh menandingi manisnya gulali, jauh memikat dari merdunya seruling bambu, dan sungguh, jauh-jauh lebih menyejukkan dari pagi hari kian membekukan tiap makhluk di perkebunan milik kakek.

Manis itu lengket, katamu. Bisa jadi, mungkin itu juga sebabnya aku mau menunggu sebelas bulan lamanya untuk dekat dengan mereka. Aku menunggu dengan sabar, mengusir puluhan bahkan ratusan ulat pemakan daun pohon kesayanganku itu. Mereka datang setelah hujan berhenti turun, seakan-akan tahu kesedihan selalu mengintai dan kembali menyerbu setelah titik air mata terakhir kuseka.

Pohon-pohon itu meranggas, kehabisan daun untuk menutupi ketelanjangan mereka. Tapi bahkan aroma manisnya masih terasa, tidak menghilang ketika tumpukan daun yang rontok, tempat media berkembang ulat digusur pergi. Itu saat yang aku tahu, yang terus menerus kuingat, manis tidak akan berangsur-angsur asin, lalu kuseka air mata terakhir yang jatuh.